KPK mendesak Kementerian Sosial memperbaiki Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang menjadi basis data penerima bantuan sosial.
Jakarta - Comunitynews - KPK menemukan 16,7 juta orang tidak ada NIK (Nomor Induk Kependudukan), tapi ada di DTKS yang isinya ada 97 juta individu tapi 16 juta itu tidak yakin ada atau tidak orangnya karena jadi kami sampaikan dari dulu hapus saja 16 juta individu itu," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Senin (11/1/2021).
Pada Senin (11/1/2021), Menteri Sosial Tri Rismaharini bertemu dengan tiga pimpinan KPK yaitu Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango dan Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan dan jajaran di kedeputian pencegahan untuk melakukan koordinasi terkait surat rekomendasi KPK pada 3 Desember 2020 tentang penyampaian Kajian Pengelolaan Bantuan Sosial.
"Diganti saja dengan data dari Dukcapil (Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri), karena punya Kartu Keluarga tapi yang masuk ke DTKS hanya 1 orang, yaitu dia sendiri tapi anak istrinya tidak masuk, jadi ada yang dihilangkan karena tidak ada NIK, tapi ada yang masuk karena tercatat di Dukcapil, namun hanya sendirian saja, jadi kami sepakat mempercepat pemadanan," ungkap Pahala.
Menurut dia, Ditjen Dukcapil Kemendagri sangat kooperatif dan menawarkan pemadanan data secara daring, sehingga 3 juta data yang terus berubah misalnya lahir, meninggal, menikah, cerai, keluar daerah atau masuk daerah juga dapat diperbaharui secara otomatis.
"Selain 16 juta data tidak ada NIK, ada juga 1,06 juta NIK ganda dan kami lihat juga 234 ribu orang sudah meninggal masih ada di DTKS, itu hasil pemadanan Dukcapil berdasar kajian KPK," tambah Pahala.
Dari DTKS yang sudah padan dengan NIK, masih teridentifikasi 17.783.885 anggota keluarga inti lainnya baik kepala keluarga, suami, istri, anak yang justru tidak termasuk dalam DTKS.
"Jadi seharusnya 17 juta ini dipindahkan ke DTKS Kemensos maka DTKS rasanya akan lebih baik kualitasnya, Kami sepakat mendorong DTKS 'online' sehingga pendataan tidak harus per bulan tapi langsung 'real time'," tambah Pahala.
Tiga hal yang ditekankan KPK dalam pemadanan DTKS adalah: (1) orang itu memiliki NIK, sehingga dapat dipastikan orang tersebut berada di Indonesia, (2) orang kaya di dalam DTKS bisa keluar, (3) orang miskin yang belum masuk DTKS bisa masuk.
"Pemadanan data ini hanya mungkin kalau 'online' di Dukcapil, jadi 97 juta data DTKS itu masih banyak PR yang diperbaiki, apalagi 97 juta data ini menjadi basis untuk penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan dan ketahuan 600 ribu itu ada anggota TNI Polri PNS, jadi PR-nya masih banyak," ungkap Pahala.
KPK juga menyoroti 3 program besar di Kemensos yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan dan Penerima Bantuan Iuran (PBI) ke BPJS kesehatan tidak merujuk DTKS.
"Misalnya 884 ribu penerima PKH justru tidak ada di DTKS, 1 juta keluarga penerima BPNT tidak ada di DTKS, 26,3 jt Penerima Bantuan luran Jaminan Kesehatan tidak berasal dari DTKS dan 10,3 juta jiwa yang terdaftar pada DTKS belum terdaftar BPJS Kesehatan," ungkap Pahala.
Sedangkan berdasarkan data BPJS Kesehatan diketahui sekitar 600 ribu jiwa dalam DTKS terdaftar sebagai peserta segmen Pekerja Penerima Upah Penyelenggara Negara (PPU PN).
"Tiga unit besar ini datanya disinkronkan dong, kalau DTKS jadi rujukan artinya 97 juta orang atau berapapun nanti angka warga miskin nanti akan menentukan berbagai bansosnya," tambah Pahala.
KPK mencatat sudah ada 408 daerah yang melakukan verifikasi data.
"Jadi Kemensos sudah lebih baik datanya, hanya harus kembalikan ke daerah benar tidak itu, Bu menteri sudah membuka interaksi dengan daerah," ujarnya.
KPK juga menentang proyek sentralisasi perbaikan data senilai Rp1,45 triliun yang awalnya akan dilakukan Kemensos.
"Kami sepakat sentralisasi data senilai Rp1,45 triliun tidak akan dilakukan karena ada universitas, dinas sosial dan bahkan dukcapil juga ada di daerah," tambahnya.